A. Masa
Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesultanan
atau kerajaan-kerajaan Islam akan di uraikan sebagai berikut.
Di daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh
kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera
dan Banten di Jawa, Agama Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama,
sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut
agama Islam itu telah menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan
Islam selanjutnya tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas
dan kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum bunuh bagi orang
murtad, hukum potong tangan untuk
pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan
upaya agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta
dibangun masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah
petinggi dan penguasa kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk
agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun
akan masuk agama tersebut dan akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan
kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Ini seperti
ketika di pimpin oleh Sultan Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam,
kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam
seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain sebagainya. Lalu Sultan Agung
menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan istilah-istilah keislaman,
meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti sebenarnya.
B.
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses transformasi
sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu
portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris. Tujuannya adalah
menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan
Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke
Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang karena Indonesia kaya akan
rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan
menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck
Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah
Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah Islam di
Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di
Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di kenal
dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam
dalam tiga kategori, yaitu:
1. Bidang agama murni atau ibadah;
2. Bidang sosial kemasyarakatan; dan
3. Politik.
Terhadap bidang agama murni,
pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan
ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan,
pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu
dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori
reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak
bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum
Islam.
Sedangkan dalam bidang politik,
pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an
maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
C. Gerakan
dan organisasi Islam
Akibat dari “resep politik Islam”-nya Snouck Hurgronye
itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin
bertambah menghadapi tiga tayangan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu:
politik devide etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik
menjinakan melalui asosiasi.
Namun, ajaran Islam pada hakikatnya
terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut,
orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan
fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir
kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik
bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi,
dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di
Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbullah
perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir politik yang
sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan ideologi
Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat di terima
dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara partai-partai
politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri
dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan
lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang mengompromikan rasionalisme
Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak
itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua kubu: para cendekiawan Muslimin
berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama tradisional.
Selama pendudukan jepang, pihak
Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan nasionalis
karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga
perantara politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang
yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
1. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama
yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
2. Masyumi, yakni singkatan dari
Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan
oktober 1943.
3. Hizbullah, (Partai Allah dan
Angkatan Allah), semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang
dipimpin oleh Zainul Arifin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar